Blogger Widgets Dari : Situs Alfi
Powered By Blogger

Selasa, 18 Februari 2014

Bakteriologi

NEISSERIA GONORRHOEAE (GONOKOKUS)

            Merupakan salah satu spesies dari famili Neisseriaceae. Gonokokus adalah kokus gram-negatif yang biasanya tidak berpasangan atau berkoloni paling kecil dan bersifat patogen pada manusia, serta secara khas ditemukan bersama atau di dalam sel PMN.
            Gonokokus hanya meragi glukosa dan secara antigenik berbeda dengan Neisseria lainnya. Cenderung tumbuh lambat pada biakan primer, karena membutuhkan arginin, hipoxantin dan urasil. Pada isolasi bahan klinis (subbiakan selektif) mempunyai koloni khas mengandung bakteri berpili, sedangkan pada subbiakan nonselektif membentuk koloni besar dan tidak berpili. Juga ditemukan varian koloni transparan, bertipe koloni kecil disebabkan protein II permukaan terbuka (Opa) maupun besar.
Neisseria-gonorrhoeae


MORFOLOGI  DAN IDENTIFIKASI
A.     Ciri Khas Organisme
            Diplokokus gram-negatif, tidak bergerak, diameternya ± 0,8 μm. Apabila soliter berbentuk ginjal dan bila berpasangan, bagian rata (cekung) saling berdekatan.

B.     Biakan
            Jika ditanam pada biakan diperkaya (misalnya; Mueller-Hinton modifikasi Thayer-Martin) dalam 48 jam akan membentuk koloni mukoid cembung, mengkilat, menonjol (diameter 1-5 mm), transparan (opak), tidak berpigmen dan nonhemolitik.
C.     Sifat Pertumbuhan
            Paling baik tumbuh pada lingkungan Aerob, mengandung zat organik kompleks seperti darah dipanaskan, hemin atau protein hewan dan dalam atmosfer yang mengandung CO2 5%. Memiliki persyaratan kompleks pertumbuhan, meragikan glukosa, membentuk asam, tetapi tidak menghasilkan gas. Menghasilkan oksidase dan memberi reaksi oksidase (+).
            Pertumbuhan dihambat oleh beberapa unsur toksik didalam pembenihan (misalnya asam lemak dan garam). Cepat mati oleh pengeringan, sinar matahari, pemanasan basah dan disinfektan. Menghasilkan enzim autolitik yang cepat mengakibatkan pembengkakan dan lisis in vitro pada 25°C dan pH basa.

STRUKTUR ANTIGEN
            Secara antigenik bersifat heterogen dan dapat mengubah struktur permukaannya in vitro atau in vivo untuk menghindari pertahanan inang.
A.     Pili
            Alat mirip rambut yang dibangun oleh tumpukan protein Pilin (BM 17.000-21.000) menjulur ke luar beberapa mikrometer dari permukaan Gonokokus yang membantu perlekatan pada sel inang dan resistensi terhadap fagositosis. Pada ujung N molekul Pilin mengandung banyak asam amino hidrofobik. Rangkaian asam amino dekat bagian tengah molekul berguna untuk melekat pada sel inang dan kurang berguna untuk respon imun. Urutan asam amino dekat ujung karboksi sangat variabel dan sangat berperan dalam respon imun. Pilin pada semua strain Gonokokus berbeda secara antigenik dan satu strain dapat membuat berbagai pilin yang secara antigenik berbeda.
B.     Por (Protein I)
            Menjulur dari selaput sel Gonokokus dan terdapat dalam bentuk trimer untuk membentuk pori di permukaan, tempat masuknya beberapa nutrien ke dalam sel dengan bobot molekul 34.000-37.000. Setiap strain Gonokokus hanya memiliki satu tipe Por, tetapi Por dari strain lain secara antigenik berbeda. Penentuan tipe secara serologi alam laboratorium terhadap Por oleh reaksi aglutinasi dengan antibodi monoklonal berhasil membedakan 18 serovar PorA dan 28 serovar PorB.
C.     Opa (Protein II)
            Berfungsi untuk pelekatan gonokokus di dalam koloninya dan pelekatan pada sel inang. Satu bagian molekul Opa (BM 24.000-32.000) terdapat pada selaput luar Gonokokus dan sisanya pada permukaan, dari koloni opak tetapi pada koloni transparan dapat ada atau tidak. Satu strain Gonokokus kadang dapat memiliki hingga tiga tipe Opa, meskipun setiap strain mempunyai sepuluh atau lebih gen tiap Opa.
D.     Rmp (Protein III)
            Protein reduksi yang dapat dimodifikasi dan mengalami perubahan pada berat molekulnya (BM ~ 33.000) ketika tereduksi, secara antigenik dalam semua Gonokokus. Rmp bekerja sama dengan Por dalam pembentukan pori pada permukaan sel.
E.     Lipooligosakarida (LOS)
            LOS (BM 3.000 – 7.000) tidak mempunyai rantai samping antigen O panjang disebut  Polisakarida. Gonokokus   apat   memiliki  lebih  dari   satu  rantai   LOS  yang
berbeda antigennya. Racun infeksi terutama disebabkan pengaruh endotoksik LOS.

F.      Protein Lain
            Beberapa protein antigen Gonokokus belum diketahui patogenesisnya. Lip (H8) adalah protein permukaan terbuka yang dapat berubah oleh panas. Fbp (terikat Fe, BM~Por) diekspresikan bila pasokan besi terbatas (infeksi). Protease IgA1 yang memecahkan dan menonaktifkan IgA1, imunoglobulin mukosa  utama manusia.
GENETIKA DAN KEANEKAAN ANTIGEN
            Gonokokus telah mengembangkan mekanisme yang berbeda-beda untuk sering berganti antigen yang berfungsi penting dalam respon imun infeksi untuk membantu menghindari sistem imun inang, tiap satu dari 103 Gonokokus (Pilin, Opa atau Lipopolisakarida) pada permukaan molekul yang sama dan terbuka.
            Banyak gen penyandi Pilin, tetapi hanya satu gen yang disisipkan ke situs ekspresi. Gonokokus dapat membuang dan mengganti semua atau sebagian gen Pilin. Mekanisme Pilin memungkinkan Gonokokus membentuk berbagai molekul Pilin dengan antigen berbeda sepanjang waktu. Mekanisme perubahan Opa melibatkan sekurang-kurangnya sebagian, penambahan atau pembuangan DNA satu atau lebih ulangan pentamer yang mendahului urutan penyandi struktur Opa.
            Gonokokus mengandung plasmid; 95% strain berplasmid “Cryptic” kecil (BM 2,4 x106) yang fungsinya tidak diketahui, dua plasmid lainnya (BM 3,4 x106 dan 4,7 x106) mengandung gen penyandi produksi β-Laktamase, penyebab resistensi terhadap penisilin dan dapat dipindahkan dengan konjugasi di antara bakteri Gonokokus. Sering ditemukan Gonokokus resistensi terhadap tetrasiklin akibat penyisipan gen streptokokus penyandi resistensi terhadap tetrasiklin ke dalam plasmid yang berkonjungasi.
blenorhea
PATOGENESIS, PATOLOGI DAN GAMBARAN KLINIK
            Gonokokus menunjukkan beberapa tipe morfologi koloni dan hanya bakteri berpili yang virulen. Koloni opak Gonokokus menghasilkan Opa diisolasi dari pria penderita uretritis simptomatik dan biakan serviks rahim. Koloni transparan sering diisolasi dari pria penderita infeksi uretra asimptomatik, wanita yang sedang haid dan gonore bentuk invasif, termasuk salpingitis dan infeksi yang tersebar luas. Tipe koloni yang dibentuk oleh satu strain Gonokokus akan berubah-ubah selama siklus menstruasi.
            Gonokokus menyerang selaput lendir saluran genitourinaria, mata, rektum dan tenggorokan, mengakibatkan supurasi akut yang dapat menyebabkan invasi jaringan diikuti peradangan kronis dan fibrosis. Pada pria terdapat urethritis, dengan nanah berwarna krem dan nyeri waktu kencing, serta dapat menjalar  ke epididimis. Pada infeksi yang tidak diobati, sementara supurasi mereda, terjadi fibrosis yang kadang mengakibatkan sumbatan urethra yang dapat tanpa gejala. Pada wanita, infeksi primer terjadi di endoserviks, meluas ke urethra dan vagina mengakibatkan sekret mukopurulen. Infeksi kemudian menjalar ketuba uterina dan menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi. Infertilitas terjadi pada 20% wanita penderita salpingitis. Servisitas kronis atau proktisis akibat Gonokokus sering asimtomatik.
gonore-penis
            Bakteremia Gonokokus mengakibatkan lesi kulit (terutama papula hemoragik dan pustula), serta tenosinovitas dan artritis supuratif ekstremitas. Endokarditis Gonokokus tidak umum, tetapi menyebabkan infeksi hebat. Kadang menyebabkan meningitis dan infeksi mata pada orang dewasa. Oftalmia neonatorum gonokokus, infeksi mata pada bayi baru lahir, karena melewati jalan lahir yang terinfeksi dan menyebabkan kebutaan.
            Gonokokus penyebab infeksi lokal sering peka terhadap serum tetapi relatif resisten terhadap obat antimikroba. Sebaliknya, Gonokokus yang masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan infeksi yang menyebar biasanya resisten terhadap serum tetapi peka terhadap penisilin dan obat antimikroba lainnya serta berasal dari auksotipe yang memerlukan arginin, hipoxantin dan urasil untuk pertumbuhannya.
gonore-vagina

TES DIAGNOSTIK LABORATORIUM
A.     Bahan
            Nanah dan sekret diambil dari urethra, serviks, rektum, konjungtiva, tenggorokan atau cairan sinovial untuk biakan dan sediaan. Untuk penyakit sistemik sistem biakan khusus lebih berguna karena Gonokokus peka terhadap polianetol sulfonat pada pembenihan biakan darah standar.
B.     Sediaan Hapus
            Sediaan pewarnaan Gram eksudat urethra atau endoserviks memperlihatkan banyak diplokokus di dalam sel nanah sebagai diagnosis presumtif. Sediaan apus eksudat urethra pria  bersensitivitas 90% dan spesifisitas 99%, dan sediaan apus eksudat endoserviks mempunyai sensitivitas 50% dan spesifisitas 95%. Sediaan apus berwarna pada eksudat konjungtiva juga dapat terdiagnostik, tetapi bahan dari tenggorokan dan rektum umumnya tidak membantu.
C.     Biakan
            Nanah (lendir) digoreskan pada biakan selektif diperkaya (misalnya, pembenihan modifikasi Thayer-Martin) dan dieramkan dalam atmosfer mengandung CO2 5% pada suhu 37°C. Untuk menghindari pertumbuhan berlebihan oleh kontaminan, biakan sebaiknya mengandung obat antimikroba. 48 jam setelah pembiakan, dapat teridentifikasi dari pewarnaan Gram, hasil oksidase (+) dan tes koagulasi, serta  imunofluoresensi. Spesies bakteri subbiakan dapat ditentukan reaksi peragian.
D.     Serologi
            Serum dan cairan genital mengandung IgG dan IgA terhadap pili Gonokokus, protein selaput luar dan LPS yang dapat ditentukan dengan tes Immunoblotting, radioimunoasai dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Namun kurang berguna, karena keanekaan antigen Gonokokus, tertundanya pembentukan antibodi infeksi akut dan tingkat antibodi yang tinggi dalam populasi aktif secara seksual. Beberapa IgM serum bersifat bakterisidal terhadap Gonokokus in vitro.
IMUNITAS
            Infeksi Gonokokus berulang secara umum, karena imunitas pelindung terhadap reinfeksi tidak terbentuk. Meskipun ada antibodi, IgA dan IgG pada permukaan selaput lendir, antibodi tersebut sangat strain spesifik atau lemah daya perlindungannya.
PENCEGAHAN DAN PENGEDALIAN
            Gonore tersebar luas diseluruh dunia dan insidennya terus meningkat tiap tahunnya.  Infeksinya ditularkan melalui kontak seksual (Infektivitas 20-30%), terutama pria-wanita infeksi asimtomatik. Infeksi dapat dikurangi dengan menghindari hubungan seksual dengan banyak pasangan, pembasmian dengan diagnosis dini dan pengobatan, serta penemuan kasus dengan penyaringan penduduk beresiko tinggi dan pendidikan. Profilaksis mekanik (kondom) memberikan proteksi sebagian dan Kemoprofilaksis dapat menimbulkan peningkatan resistensi terhadap antibiotika.
            Upaya mencegah penularan dan penyebaran PMS, termasuk Gonorrhea, yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae dengan melokalisasi PSK wanita agar mudah dilakukan pembinaan, pemeriksaaan kesehatan dan pengobatan rutin oleh Dinas Kesehatan ternyata tidak dapat mencegah meluasnya penularan penyakit ini, terbukti sebanyak 76,9 % PSK wanita menderita penyakit Gonorrhea pada saluran genitalnya. Kegagalan upaya pemberantasan penyakit ini antara lain disebabkan oleh:
1.    PSK wanita seringkali keluar dan masuk lokalisasi di daerah lain tanpa pengawasan yang ketat, sehingga menyulitkan pembinaan.
2.    Buruknya kesadaran PSK wanita untuk memperhatikan kesehatan reproduksinya.
3.    Ketidakmauan lelaki untuk menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dengan PSK wanita.
4.    Kebiasaan penderita gonorrhea (PSK wanita dan konsumennya) membeli dan menggunakan antibiotika secara sembarangan yang memicu timbulnya resistensi bakteri Neisseria gonorrhoeae terhadap beberapa antibiotika (Penicillin, Tetrasiklin, Ciprofloxacin).

            Pencegahan yang efektif adalah dengan perilaku seks yang aman, yaitu setia dengan satu pasangan yang sah, tidak berganti-ganti pasangan seksual, memakai kondom bila melakukan hubungan seksual dengan orang / pasangan yang beresiko tinggi, misalnya PSK wanita. Pengentasan PSK wanita dari lokalisasi juga harus dilakukan agar salah satu sumber rantai penularan dapat diputus. Perlu juga dilakukan konseling pranikah, screening awal terhadap calon pengantin terhadap keberadaan PMS termasuk gonorrhe
PENGOBATAN
            Meluasnya pemakaian penisilin, resistensi Gonokokuspun timbul karena seleksi mutan kromosom, sehingga banyak strain memerlukan penisilin G kadar tinggi (MIC≥1μg/mL) untuk menghambatnya. Gonokokus penghasil penisilin (PPNG) juga meningkat prevalensinya. Sering ditemukan bentuk resisten terhadap tetrasiklin yang diperantarai secara kromosom berkadar tinggi (MIC ≥32μg/mL) dan  resistensi spektinomisin dan antimikroba lainnya.
gonore-drug
            Pelayanan Kesehatan Masyarakat AS menganjurkan infeksi genital atau rektal yang tidak berkomplikasi diobati intramuskular dengan seftriakson 250 mg dosis tunggal. Terapi tambahan dengan doksisiklin 100 mg, oral dua kali sehari selama 7 hari,  bagi yang disertai infeksi klamidia dan pada wanita hamil. Diberikan juga eritromisin basa 500 mg, oral empat kali sehari selama 7 hari.
            Pada pria penderita uretritis, setelah pengobatan terlihat kesembuhan klinis nyata tidak perlu dibuktikan dengan biakan. Pada infeksi lainnya, harus diikuti tindak-lanjut, karena sering diikuti penyakit kelamin lainnya
            Pengobatan gonore biasanya dengan suntikan tunggal seftriakson intramuskuler (melalui otot) atau dengan pemberian antibiotik per-oral (melalui mulut) selama 1 minggu (biasanya diberikan doksisiklin). Jika gonore telah menyebar melalui aliran darah, biasanya penderita dirawat di rumah sakit dan mendapatkan antibiotik intravena (melalui pembuluh darah, infuse.)
            Terapi obat untuk gonorrhea akibat meningkatnya galur PPNG (Penisilinase Producing N. gonorrhoeae) adalah dengan menggunakan antibiotika golongan Quinolon, Spektinomisin, Kanamisin, Tiamfenikol dan Sefalosphorin. Karena cepatnya timbul resistensi terhadap antibiotika yang lebih tinggi maka pengobatan gonorrhea dengan Penisilin dan derivatnya serta golongan Quinolon perlu ditinjau efektifitasnya.
INFEKSI GONORRHEA
Definisi
            Gonore merupakan penyakit kelamin yang bersifat akut yang pada permulaan keluar nanah dari orifisium uretra eksternum sesudah melakukan hubungan kelamin. Gonore juga merupakan infeksi menular seksual tertua yang pernah dilaporkan dalam berbagai literatur.
            Penyebab gonore adalah kuman gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879 dan baru diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut termasuk dalam grup Neisseria dan dikenal ada 4 spesies yaitu
1. Neisseria gonorrhoeae
2. Neisseria meningitides
3. Neisseria pharyngis
4. Neisseria catarrhalis
N.gonorrhoeaea dan N.meningitidis bersifat pathogen sedangkan yang dua lainnya bersifat komensalisme.
            Neisseria merupakan cocus gram negatif yang biasanya berpasangan. Secara umum ciri-ciri neisseriae adalah bakteri gram negatif, diplokokus non motil, berdiameter mendekati 0,8 μm. Masing-masing cocci berbentuk ginjal; ketika organisme berpasangan sisi yang cekung akan berdekatan. Bakteri ini adalah patogen pada manusia dan biasanya ditemukan bergabung atau di dalam sel polimorfonuklear. Pada gonococci memiliki 70% DNA homolog, tidak memiliki kapsul polisakarida, memiliki plasmid. Gonococci paling baik tumbuh pada media yang mengandung substansi organik yang kompleks seperti darah yang dipanaskan, hemin, protein hewan dan dalam ruang udara yang mengandung 5% CO2. Gonococci hanya memfermentasi glukosa dan berbeda dari neisseriae lain. Gonococcus biasanya menghasilkan koloni yang lebih kecil dibandingkan neisseria lain.
Patogenesis
Gonococci menyerang membran selaput lendir dari saluran genitourinaria, mata, rektum dan tenggorokan, menghasilkan nanah akut yang mengarah ke invasi jaringan; hal yang diikuti dengan inflamasi kronis dan fibrosis. Pada pria, biasanya terjadi peradangan uretra, nanah berwarna kuning dan kental, disertai rasa sakit ketika kencing. Infeksi urethral pada pria dapat menjadi penyakit tanpa gejala. Pada wanita, infeksi primer terjadi di endoserviks dan menyebar ke urethra dan vagina, meningkatkan sekresi cairan mukopurulen. Ini dapat berkembang ke tuba uterina, menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi tuba.
Bakterimia yang disebabkan oleh gonococci mengarah pada lesi kulit (terutama Papula dan Pustula yang hemoragis) yang terdapat pada tangan, lengan, kaki dan tenosynovitis dan arthritis bernanah yang biasanya terjadi pada lutut, pergelangan kaki dan tangan. Endocarditis yang disebabkan oleh gonococci kurang dikenal namun merupakan infeksi yang cukup parah. Gonococci kadang dapat menyebabkan meningitis dan infeksi pada mata orang dewasa; penyakit tersebut memiliki manisfestasi yang sama dengan yang disebabkan oleh meningococci.
Gonococci yang menyebabkan infeksi lokal sering peka terhadap serum tetapi relatif resisten terhadap obat antimikroba. Sebaliknya, gonococci yang masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan infeksi yang menyebar biasanya resisten terhadap serum tetapi peka terhadap penisilin dan obat antimikroba lainnya serta berasal dari auksotipe yang memerlukan arginin, hipoxantin, dan urasil untuk pertumbuhannya
Gejala Klinis
            Masa tunas sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi antara 2-5 hari, kadang-kadang lebih lama dan hal ini disebabkan karena penderita telah mengobati sendiri tetapi dengan dosis yang tidak cukup atau gejala sangat samar sehingga tidak diperhatikan oleh penderita.
            Gejala dan tanda pada pasien laki-laki dapat muncul 2 hari setelah pajanan dan mulai dengan uretritis, diikuti oleh secret purulen, disuria dan sering berkemih serta malese. Sebagian besar laki-laki akan memperlihatkan gejala dalam 2 minggu setelah inokulasi oleh organisme ini. Pada beberapa kasus laki-laki akan segera berobat karena gejala yang mengganggu.
            Pada perempuan, gejala dan tanda timbul dalam 7-21 hari, dimulai dengan sekret vagina. Pada pemeriksaan, serviks yang terinfeksi tampak edematosa dan rapuh dengan drainase mukopurulen dari ostium. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan gejala menjadi sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami penyulit. Apabila tidak diobati maka tanda-tanda infeksi meluas biasanya mulai timbul dalam 10-14 hari. Tempat penyebaran tersering pada perempuan adalah pada uretra dengan gejala uretritis, disuria, dan sering berkemih. Pada kelenjar bartholin dan skene menyebabkan pembengkakan dan nyeri. Infeksi yang menyebar ke daerah endometrium dan tuba falopii menyebabkan perdarahan abnormal vagina, nyeri panggul dan abdomen dan gejala-gejala PID progresif apabila tidak diobati.
            Infeksi ekstragenital yang bersifat primer atau sekunder lebih sering ditemukan karena perubahan perilaku seks. Infeksi gonore di faring sering asimtomatik tetapi dapat juga menyebabkan faringitis dengan eksudat mukopurulen, demam, dan limfadenopati leher. Infeksi gonore pada perianus biasanya menimbulkan rasa tidak nyaman dan gatal ringan atau menimbulkan ekskoriasi dan nyeri perianus serta sekret mukopurulen yang melapisi tinja dan dinding rektum.
Secara umum gejala yang biasanya timbul adalah sebagai berikut:
» Keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina
» Demam
» Muntah-muntah
» Rasa gatal dan sakit pada anus serta sakit ketika buang air besar, umumnya terjadi pada wanita dan homoseksual yang melakukan anal seks dengan pasangan yang terinfeksi
» Rasa sakit pada sendi
» Munculnya ruam pada telapak tangan
» Sakit pada tenggorokan (pada orang yang melakukan oral seks dengan pasangan yang terinfeksi)
Pada Pria
1. Uretritis
Yang paling sering dijumpai adalah uretritis anterior akut dan dapat menjalar ke proksimal selanjutnya mengakibatkan komplikasi lokal, asendens dan diseminata. Keluhan subjektif berupa rasa gatal dan panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum, kemudian disuria, polakisurua, keluar duh tubuh dari ujung uretra yang terkadang disertai darah dan perasaan nyeri saat ereksi.
2. Tysonitis
Infeksi biasanya terjadi pada penderita dengan preputium yang sangat panjang dan kebersihan yang kurang baik. Diagnosis dibuat jika ditemukan butir pus atau pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan. Bila duktus tertutup akan timbul abses dan merupakan sumber infeksi laten.
Tysonitis
3. Prostatitis
Prostatitis ditandai dengan perasaan tidak enak pada daerah perineum dan suprapubis, malese, demam, nyeri kencing sampai hematuri, spasme otot uretra sehingga terjadi retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar dan obstipasi. Bila prostatitis menjadi kronik gejalanya ringan dan intermiten, tetapi kadang-kadang menetap. Terasa tidak enak pada perineum bagian dalam dan rasa tidak enak bila duduk terlalu lama.
Pada Wanita
1. Uretritis
Gejala utama ialah disuria terkadang poliuria. Pada pemeriksaan, orifisium uretra eksternum tampak merah, edematosa dan terdapat sekret mukopurulen.
2. Bartholinitis
Labium mayor pada sisi yang terkena membengkak, merah, dan nyeri tekan. Kelenjar bartholin membengkak, terasa nyeri sekali bila penderita berjalan dan penderita sukar duduk. Bila saluran kelenjar tersumbat dapat timbul abses dan dapat pecah melalui mukosa atau kulit. Kalau tidak diobati dapat menjadi rekuren atau menjadi kista.
Komplikasi
            Apabila gonorrhea tidak diobati, bakteri dapat menyebar ke aliran darah dan mengenai sendi, katup jantung atau otak. Konsekuensi yang paling umum dari gonorrhea adalah Pelvic Inflammatory Disease (PID), yaitu infeksi serius pada organ reproduksi wanita, yang dapat menyebabkan infertilitas. Selain itu, kerusakan yang terjadi dapat menghambat perjalanan sel telur yang sudah dibuahi ke rahim. Apabila ini terjadi, sebagai akibatnya sel telur ini berkembang biak di dalam saluran falopii atau yang disebut kehamilan di luar kandungan, suatu hal yang dapat mengancam nyawa sang ibu apabila tidak terdeteksi secara dini.
Seorang wanita yang terinfeksi dapat menularkan penyakitnya kepada bayinya ketika sang bayi melalui jalan lahir. Pada kebanyakan kasus dimana Ibu mengidap gonorrhea, mata bayi ditetesi obat untuk mencegah infeksi gonococcus yang dapat menyebabkan kebutaan. Karena adanya resiko infeksi Ibu dan bayi, biasanya dokter menyarankan agar ibu hamil menjalani tes gonorrhea setidaknya sekali selama kehamilannya. Sedangkan pada pria, apabila tidak ditangani secara serius gonorrhea dapat menyebabkan impotensi.
Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
a. Sediaan langsung
Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan ditemukan gonokokus gram negatif. Bahan duh diambil di daerah fosa navicularis pada pria sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar bartholin, serviks dan rektum.
b. Kultur.
Identifikasi perlu dilakukan dengan dua macam media yang dapat digunakan yaitu media transport seperti Media Stuart dan Media Transgrow. Kemudian Media pertumbuhan seperti Media Mc Leod’s chocolate agar, Media Thayer Martin dan Media Modified Thayer Martin Agar .
c. Tes Definitif
1. Tes oksidasi, semua Neisseria member hasil positif dengan perubahan warna koloni yang semula bening berubah menjadi merah muda sampai merah lembayung.
2. Tes Fermentasi. Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai glukosa.
d. Tes Beta Laktamase
Pemeriksaan beta laktamase dengan menggunakan cefinase TM disc. BBL 961192 yang mengandung chromogenic cephalosporin, akan menyebabkan perubahan warna dari kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta laktamase.
e. Tes Thomson
Tes ini berguna untuk mengetahui sampai di mana infeksi sudah berlangsung. Tes ini memerlukan syarat yaitu :
1. Sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi.
2. Urin dibagi dalam dua gelas.
3. Tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II.
Pengobatan
            Pada semua tipe gonorrhea, pengobatan harus dilakukan dengan tindak lanjut yang berulang, termasuk pembiakan dari tempat yang terkena. Karena penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual lainnya dapat diperoleh pada saat yang sama, langkah-langkah diagnostic yang cocok juga harus dilakukan.
            Karena penggunaan penicillin yang sudah meluas, resistensi gonococci terhadap penicillin juga meningkat, namun karena seleksi dari kromosom yang bermutasi, maka banyak strain membutuhkan penicillin G dalam konsentrasi tinggi yang dapat menghambat pertumbuhan gonococci tersebut (MIC ≥ 2μg/mL). N. Gonorrhea yang memproduksi penicillinase (PPNG, Penicillinase Producing N. gonorrhea) juga meningkat secara meluas. Resistensi terhadap tetracycline (MIC ≥ 2μg/mL) secara kromosomal sering ditemui, dengan 40% atau lebih gonococci yang resisten pada tingkat ini. Tingkat resistensi yang tinggi terhadap tetracycline (MIC ≥ 32μg/mL) juga terjadi. Resistensi terhadap spectinomycin seperti halnya resistensi terhadap antimikroba lain Pelayanan Kesehatan Masyarakat AS merekomendasikan untuk mengobati infeksi genital yang bukan komplikasi dengan ceftriaxone 125mg secara intramuskular dengan dosis sekali pakai. Terapi tambahan dengan doxycycline 100mg 2 kali sehari selama 7 hari(per oral) direkomendasikan untuk infeksi concomitant chlamydia; erythromycin 500mg 4x sehari selama 7 hari (per oral) sebagai pengganti doxycycline bagi wanita hamil. Modifikasi dari terapi-terapi ini direkomendasikan untuk jenis infeksi N. gonorrhea yang lain.
Penggunaan sefalosporin generasi ke-3 dalam hal ini seperti seftriakson cukup efektif dengan dosis 250 mg i.m dan sefoperazon dengan dosis 0,5 sam 1 gram secara i.m.
Dari golongan kuinolon obat yang menjadi pilihan adalah ofloksazin 400 mg, siprofloksazin 250-500 mg dan norfloksasin 800 mg secara oral.
            Neisserriae Gonorrhoeae termasuk dalam spesies Neisseria. Neisseria merupakan cocci gram negatif yang biasanya berpasangan. Bakteri ini adalah patogen pada manusia dan biasanya ditemukan bergabung atau di dalam sel polimorfonuklear. Pada gonococci memiliki 70% DNA homolog, tidak memiliki kapsul polisakarida, memiliki plasmid. Gonococci paling baik tumbuh pada media yang mengandung substansi organik yang kompleks seperti darah yang dipanaskan, hemin, protein hewan dan dalam ruang udara yang mengandung 5% CO2. Gonococci hanya memfermentasi glukosa dan berbeda dari neisseriae lain. Gonococci biasanya menghasilkan koloni yang lebih kecil dibandingkan neisseria lain.
            Gonococci yang berbentuk koloni yang pekat (opaque) saja yang diisolasi dari manusia dengan gejala urethritis (peradangan urea) dan dari kultur “uterine cervical” pada siklus pertengahan. Gonococci yang koloninya berbentuk transparan diisolasi dari infeksi urethral yang tidak bergejala, dari menstruasi dan dari bentuk invasif dari gonorrhea, termasuk salpingitis dan infeksi diseminasi.
            Gonococci menyerang membran selaput lendir dari saluran genitourinaria, mata, rektum dan tenggorokan, menghasilkan nanah akut yang mengarah ke invasi jaringan; hal yang diikuti dengan inflamasi kronis dan fibrosis. Pada pria, biasanya terjadi peradangan uretra, nanah berwarna kuning dan kental, disertai rasa sakit ketika kencing. Infeksi urethral pada pria dapat menjadi penyakit tanpa gejala. Pada wanita, infeksi primer terjadi di endoserviks dan menyebar ke urethra dan vagina, meningkatkan sekresi cairan mukopurulen. Ini dapat berkembang ke tuba uterina, menyebabkan salpingitis, fibrosis dan obliterasi tuba.
            Bakterimia yang disebabkan oleh gonococci mengarah pada lesi kulit (terutama Papula dan Pustula yang hemoragis) yang terdapat pada tangan, lengan, kaki dan tenosynovitis dan arthritis bernanah yang biasanya terjadi pada lutut, pergelangan kaki dan tangan. Endocarditis yang disebabkan oleh gonococci kurang dikenal namun merupakan infeksi yang cukup parah. Gonococci kadang dapat menyebabkan meningitis dan infeksi pada mata orang dewasa; penyakit tersebut memiliki manisfestasi yang sama dengan yang disebabkan oleh meningococci.
            Opthalmia neonatorum yang disebabkan oleh gonococci, yaitu suatu infeksi mata pada bayi yang baru lahir, didapat selama bayi berada di saluran lahir yang terinfeksi. Gonococci yang menyebabkan infeksi lokal biasanya sensitif terhadap serum tetapi relatif
            Resistan terhadap antimikroba. Sebaliknya, gonococci yang masuk ke aliran darah dan menimbulkan infeksi yang luas biasanya resisten terhadap serum tapi mungkin cukup sensitif terhadap penicillin dan obat antimikroba lainnya.



STAFILOKOKUS

 



      A.   PENGERTIAN.
Stafilokokus adalah sel sferis gram positif, biasanya tersususn dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur. Stafilokokus tumbuh dengan mudah di berbagai medium dan aktif secara metabolic, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih hingga kuning tua.
Genus stafilokokus sedikitnya memiliki 30 spesies. Beberapa tipe stafilokokus merupakan flora normal kulit dan membrane mukosa manusia : tipe lainnyya dapat menimbulkan supurasi , membentuk abses, berbagai infeksi piogenik, dan bahkan septikema yang fatal. Stafilokokus pathogen dapat menyebabkan hemolisis darah, mengkoagulasi plasma, serta menghasilkan berbagai enzim dan toksin ekstraseluler. Bentuk keracunan makanan yang paling sering terjadi disebabkan oleh  enterotoksin stafilokokus yang tahan panas. Stafilokokus cepat menjadi resistan terhadap banyak obat antimikroba dan menyebabkan masalah terapi yang sulit.
Tiga spesies utama yang memiliki kepentingan klinis adalah, antara lain :
1)      Staphylococcus aureus.
Bersifat koagulase-positif, yang membedakannyadari spesies yang lainnya. S aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi S aureus selama hidupnya., dengan derajat keparahan yang beragam , dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan hingga infeksi berat yang mengancam jiwa.
Stafilokokus sedikitnya koagulase-negatif adalah flora normal manusia dan kadang-kadang menyebabkan infeksi , seringkali berkaitan dengam implantasi alat-alat , terutama pada pasien sangt muda, tua dan dengan fungsi imun yang terganggu.



2)      Staphylococcus epidermidis.
Sekitar 75% infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus koagulase-negatif ini akibat S epidermidis; Staphyylococcus warneri, Staphylococcus hominis, dan spesies lainnya lebih  jarang terjadi.
3)      Staphylococcus saprophylococcus.
Relatif sering menjadi penyebab infeksi saluran kemih pada wanita muda. Spesies lainnya penting pada kedokteran hewan.

    B.   MORFOLOGI &IDENTIFIKASI.
1.1  Ciri Khas Organisme.
Stafilokokus adalah sel sferis, berdiameter sekitar 1µm tersusun dalam kelompok yang tidak teratur. Kokus tunggal, berpasangan , tetrad, dan bentuk rantai juga terlihat di biakan cairan. Kokus yang muda memberikan pewarnaan gram – positif yang kuat; akibat penuaan , banyak sel menjadi gram-negatif. Stafilokokus tidak motil dan tidak membentuk spora. Bila dipengaruhi obat-obat seperti penisilin , stfilokokus lisis.
Spesies mikrokokus sering menyerupai stafilokokus. Spesies tersebut ditemukan hidup-bebas di lingkungan dan membentuk kelompok empat atau delapan kokus yang teratur. Koloninya dapat berwarna kuning, merah, atau jingga.

1.2  Biakan.
Stafilokokus mudah berkembang pada sebagian besar medium bekteriologik dalam lingkungan aerobic atau mikroaerofilik. Organisme ini paling cepat berkembang pada suhu 370 C tatapi suhu terbaik untuk menghasilkan pigmen adalah pada suhu ruangan ( 20 -250C). Koloni pada medium padat berbentuk bulat, halus, meninggi, dan berkilau. S aureus biasanya membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning tua kecoklatan. Koloni S epidermidis biasanya berwarna abu-abu hingga putih pada isolasi pertama; banyak koloni hanya menghasilkan pigmen setelah inkubasi lama. Pigmen tidak dihasilkan pada keadaan anaerob atau pada kaldu. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S aureus dan kadang-kadang oleh spesies lainnya. Spesies Peptostreptokokus, yang merupakan kokus anaerobik, sering menyerupai morfologi stafilokokus.

1.3  Sifat Pertumbuhan.
Stafilokokus memproduksi katalase, yang membedakannya dengan  steptokokus. Stafilokokus memfermentasikan banyak karbohidrat secara lambat, menghasilkan asam laktat tetapi tidak menghasilkan banyak substansi ekstraselular, yang akan diuraikan di bawah ini.
Stafilokokus relative resistan terhadap pengeringan, panas (tahan pada suhu 500C selama 30 menit), dan natrium klorida 9% tetapi mudah dihambat oleh bahan kimia tertentu , seperti heksaklorofein 3%. Stafilokokus memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap obat antimikroba. Resistansi stafilokokus dibagi menjadi beberapa kelas :
a)      Sering memproduksi β-laktamase, dikendalikan oleh plasmid, dan membuat organisme ini reistan terhadap berbagai (penisilin G, amplicilin, tikarsilin, piperasilin, dan obat yang serupa). Plasmid ditrasmisikan melalui transduksi dan mungkin juga melalui konjugasi.
b)      Resistansi terhadap nafsilin (dan terhadap metisilin dan oksasilin) tidak tergantung pada produksi β-laktamase. Gen mecA yang resitan terhadpa nafsilin terletak di dalam kromosom. Mekanisme resistansi nafsilin dikaitkan dengan kekurangan atau tidak tersediannya pengikat penisilin (penicillin-blinding protein; PBP) pada organisme tersebut.
c)      Di Amerika Serikat, S aureus dianggap sensitif terhadap vankomisin jika konsentrasi penghambat minimumnya (minimum inhibitory consentration; MIC) kurang atau sama dengan 4 µg/mL; kerentanan intermediat jika MIC 8-16 µg/mL; dan resistan jika MIC > 16 µg/mL. Strain S aureus dengan kerentanan intermediate terhadap vankomisin telah diisolasi di Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain. Organisme ini juga disebut sebagai vancomycinintermediate S aureus, atau "VISA". Organisme tersebut umumnya diisolasi dari pasien-pasien dengan infeksi kompleks yang mendapat terapi vankomisin lama. Kegagalan terapi vankomisin sering kali terjadi. Mekanisme resistansi berhubungan dengan peningkatan sintesis dinding sel serta perubahan dinding sel dan bukan sebagai akibat gen van yang ditemukan pada enterokokus. Strain S aureus dengan kerentanan intermediate terhadap vankomisin biasanya resistan. terhadap nafsilin tetapi umumnya sensitif terhadap oksazolidinon dan quinupristin/dalfopristin.
d)     Pada tahun 2002, strain vancomycin-resistant S aureus (VISA) diisolasi dari pasien. Isolat mengandung gen vanA resistan vankomisin dari enterokokus dan gen mecA resistan nafsilin.
e)      Resistansi yang diperantarai plasmid (plasmid-mediated resistance) terhadap tetrasiklin, eritromisin, aminoglikosida, dan obat-obat lain sering terjadi pada stafilokokus.
f)       “Toleransi“ menunjukan bahwa stafilokokus dihambat oleh suatu obat terapi tidak dibunuh, yaitu terdapat perbedaan besar antara konsentarsi penghambat minimal dan konsentrasi letal minimal obat antimikroba. Toleransi kadang-kadang terjadi akibat kurangnya aktivasi enzim aurolitik di dinding sel.

1.4  Variasi.
Biakan stafilokokus mengandung beberapa bakteri yang berbeda dari sebagian besar populasi dalam membentuk karakteristik koloni (ukuran koloni, pigmen, hemolisis), elaborasi enzim, resistansi obat, dan patogenitas. Secara in vitro , ekspresi karakteristik koloni ditentukan oleh kondisi pertumbuhan: Bila S aureus yang resistan terhadap nafsilin diinkubasi pada agar darah pada suhu 37 °C, satu dari 107 organisme menunjukkan resistansi terhadap nafsilin; bila diinkubasi pada agar yang mengandung natrium klorida 2-5% pada suhu 30 °C, satu dari 103 organisme resistan terhadap nafsilin.

    C.   STRUKTUR ANTIGEN.
Stafilokokus mengandung polisakarida antigenic dan protein serta substansi penting lainnya di dalam struktur dinding sel. Peplidogikan, polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeler yang kaku pada dinding sel. Peplidogikan dihancurkan oleh asam kuat atau pajanan terhadap lisozim. Hal ini penting pada pathogenesis infeksi Peplidogikan memicu produksi interleukin -1 dan antibody opsonik oleh monosit.
Asam teikoat, yang merupakan polimer gliserol atau ribitol fosfat , berhubungan denganpeplidogikan dan dapat menjadi antigenic.
Protein A adalah komponen dinding sel pada banyak strain S aureus yang berikatan dengan bagian Fc dari molekul IgG kecuali IgG3.
Beberapa strain S aureus memiliki kapsul yang menghambat fagositosis oleh lekosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi spesifik. Sebagian besar strain S aureus mempunyai koagulase atau factor penggumpal , pada permukaan dinding sel, koagulase terikat dengan fibrinogen secara nonenimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri. Uji serologi memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi stafilokokus.

    D.   ENZIM & TOKSIN
Stafilokokus dapat menyebabkan penyakit baik melalui kemampuannya untuk berkembang biak dan menyebar luas di jaringan serta dengan cara menghasilkan berbagai substansi ekstraselular. Beberapa substansi tersebut adalah enim, lainnya dianggap sebagai toksin, tetapi dapat berfungsi sebagai enzim. Banyak dari toksin tersebut di bawah control genetic plasmid, beberapa dapat dikendalikan kromosomal dan ekstrakrosomal, dan makanisme control genetic lainnya tidak dapat dijarbakan dengan baik.
*      Katalase
Stafilokokus menghasilkan katalase mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Uji katalase membedakan stafilokokus yang relatif dengan streptokokus yang negative.
*      Koagulasi dan factor penggumpal
Koagulase berikatan dengan protrombin, bersama-sama keduanya menjadi aktif secara enzimatik dan menginisiasi polimerisasi fibrin. Koagulase dapat menyimpan fibrin pada permukaan stafilokokus, mungkin mengubah ingestinya oleh sel fagositik atau destruksi stafilokokus dalam selsel tersebut.  Memproduksi koagulase dianggap sama dengan memiliki potensi menjadi patogen invasif.
Faktor penggumpal adalah kandungan permukaan S aureus yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen.
*      Enzim Lain
Enzim-enzim lain yang dihasilkan oleh stafilokokus antara lain adalah hialuronidase, atau faktor penyebar; stafilokinase menyebabkan fibrinolisis tetapi bekerja jauh lebih lambat daripada streptokinase; proteinase; lipase; dan βlaktamase.
*      Eksotoksin
α-toksin merupakan protein heterogen yang bekerja dengan spektrum luas pada membran sel eukariot. α-toksin merupakan hemolisin yang kuat. β-toksin dapat menguraikan sfingomielin sehingga toksik untuk berbagai sel, termasuk sel darah merah manusia. γ-toksin melisiskan sel darah merah manusia dan hewan. δtoksin bersifat heterogen dan terurai menjadi beberapa subunit pada detergen nonionik. Toksin tersebut mengganggu membran biologik dan dapat berperan pada penyakit diare akibat S aureus.
*      Leukosidin
Toksin S aureus ini memiliki dua komponen. Leukosidin dapat membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Kedua komponen tersebut bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih membentuk pori-pori dan meningkatkan permeabilitas kation.
*      Toksin Eksfoliatif
Toksin epidermolitik S aureus ini merupakan dua protein yang berbeda dengan berat molekul yang sama. Toksin epidermolitik A adalah produk gen kromosomal dan tahan panas (tahan dididihkan selama 20 menit). Toksin epidermolitik B diperantarai plasmid dan tidak tahan panas. Toksin epidermolitik menyebabkan deskuamasi generalisata pada staphylococcal scalded skin syndrome. Toksintoksin tersebut merupakan superantigen.
*      Toksin Sindrom-Syok-Toksin
Sebagian besar strain S aureus yang diisolasi dari pasien dengan sindrom syok toksik menghasilkan toksin yang disebut toksin sindrom-syok-toksik-1 (TSST1), yang setara dengan enterotoksin. F. TSST-1 merupakan superantigen prototipikal (Iihat Bab 8).
TSST-1 berikatan dengan molekul MHC kelas II, menstimulasi sel T, yang menimbulkan manifestasi protean pada sindrom syok toksik. Toksin ini menyebabkan demam, syok, dan melibatkan berbagai sistem tubuh, termasuk ruam kulit deskuamatif. Gen untuk TSST-I ditemukan pada sekitar 20% isolasi S aureus.
*      Enterotoksin
Terdapat berbagai enterotoksin (A-E, G-!, K-M). Sekitar 50% strain S aureus dapat menghasilkan satu enterotoksin arau Iebih. Seperti TSST-I, enterotoksinnya merupakan super.tntigen. Enterotoksin tahan terhadap panas dan resistan rerhadap kerja enzim usus.
 Enterotoksin merupakan penyebab penting keracunan makanan; enterotoksin dihasilkan bila S aureus tumbuh di makanan yang mengandung karbohidrat dan protein. Ingesti 25 µg enterotoksin B dapat menyebabkan muntah dan diare. Efek muntah enterotoksin B kemungkinan terjadi akibat stimulasi sistem saraf pusat (pusat muntah) setelah toksin bekerja pada reseptor saraf di usus. Toksin eksfoliatif, TSST-1, dan gen enterotoksin terdapat pada elemen kromosom yang disebut pulau patogenisitas. Gen-ten tersebut berinteraksi dengan elemen genetik aksesoris—bakteriofag—untuk menghasilkan toksin.

    E.   PATOGENESIS
Stafilokokus, terutama S epiderrmidis, merupakan flora normal pada kulit, saluran napas, dan saluran cerna manusia. S aureus ditemukan dalam hidung pada 2050% manusia. Stafilokokus juga sering ditentukan di pakaian, seprai, dan benda- benda lainnya di lingkungan manusia. Kemampuan patogenik S aureus tentu merupakan gabungan efek faktor ekstraselular dan toksin serca sifat invasif strain tersebut. Salah satu akhir spektrum penyakit oleh stafilokokus adalah keracunan makanan, yang semata - mata akibat konsumsi makanan yang mengandung enterotoksin; sedangkan bentuk akhir lainnya adalah bakteremia stafilokokus dan abes yang tersebar di semua organ.
S aureus yang patogen dan invasif menghasilkan koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen kuning dan hersifat hemolitik. Stafilokokus yang nonpatogen dan tidak invasif seperti S epidermidis bersifat koagulase-negatif dan cenderung nonhemolitik. Organisme ini jarang menyebabkan supurasi tetapi dapat menginfeksi proses ortopedik atau kardiovaskular, atan menyebabkan penyakit pada orang dengan fungsi imun yang terganggu. S saprophyticus khasnya tdak berpigmen, resistan terhadap novobiosin, clan nonhemolitik; bakteri ini menyebabkan infeksi saluran kemih pada wanita muda.

    F.    REGULASI DETERMINAN VIRULENSI
Protein permukaan S aureus, seperti protein A dan adhesin, disintesis selama fase pertumbuhan eksponensial. Protein yang disekresikan, seperti toksin, disintesis pada fase stasioner. Fase-fase pertumbuhan ini dapat juga menggambarkan stadium awal infeksi dan fase ketika terjadi penyebaran infeksi ke jaringan sekitar.
Gen regulon global aksesori, agr, memiliki dua operon utama: Satu mengandung kode molekul RNA yang unik, RNAIII. Molekul ini menginduksi peningkatan pembentukan protein yang disekresi dan penurunan pembentukan protein permukaan. Berlawanan dengan RNAIII, terdapat promoter yang bertugas membentuk RNAII dari sebuah operon empat-gen, agrB-DCA. Produk RNAII dibutuhkan untuk pembentukan RNAIII yang optimal. Gen agrB dan agrD juga menghasilkan peptida penanda kecil yang mengaktifkan pembentukan RNAIII dengan cara yang bergantung pada densitas sel S aureus. Selain itu, protein regulator aksesoris stafilokokus, yang dikodekan oleh sarA, berikatan dengan daerah promoter di lokus agr, sehingga meningkatkan kadar RNAII dan RNAIII.

     G.  PATOLOGI
Prototipe lesi stafilokokus adalah furunkel atau abses setempat lainnya. Kelompok S aureus yang terdapat di folikel rambut menyebabkan nekrosis jaringan (faktor demonekrotik). Koagulase dihasilkan dan mengoagulasi fibrin di sekitar lesi dan di dalam limfatik, mengakibatkan pembentukan dinding yang membatasi proses dan diperkuat oleh akumulasi sel-sel radang dan kemudian jaringan fibrosa. Di tengah lesi, terjadi pencairan jaringan nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas lambat), dan abses "mengarah" pada daerah yang resistansinya paling rendah. Setelah cairan di tengah jaringan nekrosis keluar, rongga secara pelan-pelan diisi dengan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.
Supurasi fokal (abses) merupakan ciri khas infeksi stafilokokus. Dari fokus mana pun, organisme dapat menyebar melalui aliran darah dan sistem limfatik ke bagian tubuh lain. Supurasi dalam vena, yang menimbulkan trombosis, merupakan gambaran umum penyebaran tersebut. Pada osteomielitis, fokus primer pertumbuhan S aureus secara khas terdapat di pembuluh darah terminal bagian metafisis tulang panjang, menyebabkan nekrosis tulang dan supurasi kronik. S aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis, atau sepsis dengan supurasi di berbagai organ. Stafilokokus dengan daya invasif rendah dapat menyebabkan berbagai infeksi kulit (misalnya, akne, pioderma, atau impetigo). Kokus anaerob (peptostreptokokus) berperan dalam menimbulkan infeksi anaerobik campur.
Stafilokokus juga menyebabkan penyakit melalui kerja toksin,. tanpa memperlihatkan infeksi invasif. Bula eksfoliatif—sindrom .lepuh kulit (scalded skin syndrome) - disebabkan oleh pembentukan toksin eksfoliatif. Sindrom syok toksik disebabkan oleh toksin sindrom syok toksin- 1 (TSST 1).

    H.  TEMUAN KLINIS
Infeksi lokal stafilokokus tampak sebagai "jerawat", infeksi folikel rambut, atau abses. Biasanya terjadi reaksi radang yang berlangsung hebat, terlokalisasi, dan nyeri yang membentuk supurasi sentral dan cepat menyembuh bila dilakukan drainase pus. Dinding fibrin dan sel di sekitar inti abses cenderung mencegah penyebaran organisme dan sebaiknya tidak dirusak dengan manipulasi atau trauma.
Infeksi S aureus juga dapat terjadi akibat kontaminasi langsung pada luka, misalnya infeksi stafilokokus pada luka pascaoperasi atau infeksi yang terjadi setelah trauma (osteomielitis kronik setelah fraktur terbuka, meningitis setelah fraktur tengkorak).
Jika S aureus menyebar luas dan terjadi bakteremia, dapat terjadi endokarditis, osteomielitis hematogen akut, meningitis, atau infeksi paru. Gambaran klinisnya menyerupai gambaran klinis pada infeksi lainnya yang melalui aliran darah. Lokalisasi sekunder dalam organ atau sistem ditandai oleh gejala dan tanda disfungsi organ dan supurasi setempat yang hebat.
Keracunan makanan akibat enterotoksin stafilokokus ditandai dengan waktu inkubasi yang pendek (1 sampai 8 jam); mual hebat, muntah, dan diare; dan penyembuhan yang cepat. Tidak ada demam.
Sindrom syok toksik timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam bentuk skarlatina, dan hipotensi yang disertai gagal jantung dan gagal ginjal pada sebagian besar kasus yang berat. Gejala tersebut sering terjadi dalam 5 hari setelah permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, tetapi juga dapat terjadi pada anak-anak atau laki-laki dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. Sindrom ini dapat berulang. S aureus.yang menyebabkan sindrom syok toksik dapat ditemukan di vagina, pada tampon, pada luka atau infeksi lokal lainnya, atau di tenggorok tetapi hampir tidak pernah ditemukan dalam aliran darah.

   I.      UJI LABORATORIUM DIAGNOSTIK
1.1  Spesimen
Usapan permukaan, pus, darah, aspirat trakea, cairan spinal untuk biakan, tergantung pada lokalisasi proses.



1.2  Sediaan Hapus
Stafilokokus yang khas terlihat pada pewarnaan apusan pus atau sputum. Tidak mungkin membedakan organisme saprofitik (S epidermidis) dengan organisme patogen (S aureus) berdasarkan sediaan apus.
1.3  Biakan
Spesimen yang ditanam di cawan agar darah membentuk koloni yang khas dalam 18 jam pada suhu 37°C, tetapi tidak menghasilkan pigmen dan hemolisis sampai beberapa hari kemudian dan dengan suhu ruangan yang optimal. S aureus memfermentasikan manitol, tetapi stafilokokus lainnya tidak. Spesimen yang terkontaminasi dengan flora campuran dapat dibiakkan di medium yang mengandung NaC17,5%; garam menghambat pertumbuhan sebagian besar flora normal tetapi tidak menghambat S. aureus. Agar garam manitol. digunakan untuk memindai S aureus yang berasal dari hidung.
1.4  Uji Katalase
Setetes larutan hidrogen peroksida diletakkan di gelas objek, dan sedikit pertumbuhan bakteri yang. diletakkan di dalam larutan tersebut. Terbentuknya gelembung (pelepasan oksigen) menandakan uji yang positif. Uji ini juga dapat dilakukan dengan menuangkan larutan hidrogen peroksida di atas bakteri yang tumbuh subur di agar miring dan meneliti gelembung yang muncul.
1.5  Uji Koagulase
Plasma kelinci (atau manusia) yang mengandung sitrat dan diencerkan 1:5, dicampur dengan biakan kaldu atau pertumbuhan koloni pada agar dengan volume yang sama dan diinkubasi pada suhu 37 °C. Tabung plasma yang dicampur .dengan kaldu steril disertakan sebagai kontrol. Jika terbentuk bekuan dalam 1-4 jam, tes ini positif. Stafilokokus koagulase-positif dianggap patogen bagi manusia; "namun, stafilokokus koagulase-positif pada anjing (Staphylococcus intermedius) dan lumba-lumba (Staphylococcus delphini) jarang menyebabkan penyakit pada manusia. Infeksi pada peralatan protesis dapat disebabkan oleh organisme koagulase-negatif, kelompok S epidermidis.

1.6  Uji Sensitivitas
Uji sensitivitas dengan rnenggunakan pengenceran mikro kaldu atau uji sensitivitas lempeng difusi (disk diffusion). seharusnya rutin dilakukan pada isolat stafilokokus dari infeksi yang bermakna secara klinis. Resistansi terhadap penisilin G dapat dilihat dengan uji β-laktamase yang positif; sekitar 90% S aureus menghasilkan β-laktamase. Resistansi terhadap nafsilin (serta oksasilin dan metisilin) terjadi pada sekitar 20% isolat S aureus dan sekitar 75% S epidermidis.
 Resitensi nafsilin berkaitan dengan adanya mecA, gen yang mengode protein pengikat penisilin (PBP 2a) tidak terpengaruh oleh obat-obat tersebut. Gen ini dapat dideteksi dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction, tetapi teknik tersebut mungkin tidak perlu dilakukan karena stafilokokus yang tumbuh pada agar Mueller-Hinton yang mengandung NaCI 4% dan 6 µg/mL okasilin biasanya menunjukkan mecA-positif dan resistan terhadap oksasilin.
 Selain itu, terdapat pemeriksaan untuk produk gen mecA, PBP 2a yang tersedia di pasaran dan lebih cepat dibandingkan dengan pemeriksaan mecA yang menggunakan teknik PCR atau daripada pemeriksaan resistansi yang menggunakan biakan pada agar garam yang mengandung oksasilin.
1.7  Uji Serologi dan Penentuan Tipe
Uji serologi untuk mendiagnosis infeksi S aureus sangat tidak praktis. Pola sensitivitas antibiotik membantu menelusuri infeksi S aureus dan menentukan apakah berbagai isolat S epidermidis dari biakan darah menunjukkan bakteremia akibat strain yang sama, yang berasal dari suatu tempat infeksi. Teknik penentuan tipe secara molekular telah digunakan untuk mendokumentasikan penyebaran penyakit epidemik-akibat klon S aureus.

   J.     PENGOBATAN
Sebagian besar orang memiliki stafilokokus pada kulit dan di dalam hidung atau tenggorok. Bahkan jika kulit dapat dibersihkan dari stafilokokus (seperti pada eksema), akan segera terjadi reinfeksi oleh droplet. Karena organisme patogen umumnya menyebar dari satu lesi (misalnya furunkel) ke daerah kulit lain melalui jari tangan atau pakaian, pemberian antiseptik lokal secara hati-hati sangat penting untuk mengontrol rekurensi furunkulosis.
Infeksi kulit multipel yang serius (akne, furunkulosis) paling sering terjadi pada para remaja. Infeksi kulit yang serupa terjadi pada pasien yang menggunakan kortikosteroid dalam jangka panjang. Pada akne, lipase stafilokokus dan korinebakterium melepaskan asam lemak dari lemak dan menimbulkan iritasi jaringan. Tetrasiklin digunakan untuk terapi jangka panjang.
Abses dan lesi supuratif tertutup lainnya diobati dengan drainase, tindakan yang penting, dan pemberian terapi antimikroba. Banyak obat antimikroba mempunyai beberapa efek yang melawan stafilokokus secara in vitro. Namun, sulit untuk membasmi stafilokokus patogen dari pasien yang terinfeksi, karena organisme ini sangat cepat menjadi resistan terhadap berbagai obat antimikroba dan obat tersebut tidak dapat bekerja pada bagian pusat nekrotik lesi supuratif. S aureus pada keadaan carrier juga sangat sukar dibasmi.
Osteomielitis hematogen akut memberikan respons yang baik terhadap obat antimikroba. Pada osteomielitis kronik dan berulang, drainase bedah dan pengangkatan tulang yang mati disertai dengan pemberian obat antimikroba yang sesuai dalam jangka panjang, tetapi pembasmian stafilokokus tetap sulit dilakukan. Oksigen hiperbarik dan penggunaan flap miokutan dengan vaskularisasi sangat membantu penyembuhan pada osteoinielitis kronik.
Bakteremia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi berat lain akibat infeksi S aureus memerlukan terapi dengan penisilin resitan β-laktamase secara intravena dalam jangka panjang. Vankomisin sering dicadangkan untuk stafilokokus yang resistan terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan oleh S aureus yang tidak menghasilkan β-laktamase, penisilin G merupakan obat pilihan, tetapi hanya sebagian kecil strain S aureus yang sensitif terhadap penisilin G.
Infeksi S epidermidis sulit disembuhkan karena organisme ini terdapat di alat protesis, tempat bakteri dapat memperbanyak diri di biofilm. S epidermidis lebih sering resistan terhadap obat antimikroba daripada S aureus; sekitar 75% strain S epidermidis resistan terhadap nafsilin.
Karena banyak strain yang resistan terhadap obat, isolat stafilokokus yang bermakna harus dilakukan uji sensitivitas untuk menentukan pilihan obat sistemik. Resistansi terhadap obat golongan eritromisin cenderung meningkat dengan cepat sehingga sebaiknya golongan obat ini tidak digunakan sebagai terapi tunggal untuk infeksi kronik. Resistansi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dll.) yang ditentukan oleh plasmid, dapat ditransmisikan antar stafilokokus melalui proses transduksi dan mungkin juga melalui konjugasi. Pada infeksi klinis, strain S aureus yang resistan terhadap penisilin G selalu menghasilkan penisilinase. Saat ini terdapat sekitar 90% strain S aureus yang resistan terhadap penisilin-G pada komunitas di Amerika Serikat. Strain ini biasanya sensitif terhadap penisilin yang resistan terhadap β-laktamase, sefalosporin, atau vankomisin.
Resistansi terhadap nafsilin tidak tergantung pada produksi β-laktamase, dan gejala klinisnya sangat bervariasi di berbagai negara dan pada waktu yang berbeda. Pengaruh seleksi obat antimikroba yang resistan terhadap β-laktamase mungkin bukan satu-satunya faktor yang menentukan timbulnya resistansi terhadap obat-obat tersebut: Misalnya, di Denmark, S aureus yang resistan terhadap nafsilin berjumlah 40% dari seluruh isolat pada tahun 1970 dan hanya berjumlah 10% pada tahun 1980, tanpa perubahan yang nyata pada pemakaian nafsilin atau obat yang serupa. Di Amerika Serikat, S aureus yang resistan terhadap nafsilin hanya berjumlah 0,186 dari jurnlah isolat pada tahun 1970 tetapi pada tahun 1990 bcrjutnlalt sebanyak 20-30% isolat dari infeksi pada bcberapa rumah sakit. Untungnya. S aureus dengan sensitivitas intermediat terhadap vankomisin sudah relatif jarang, dan isolat strain yang resistan terhadap vankomisin te!ah jarang ditemukan.

   K.  EPIDEMIOLOGI & PENGENDALIAN
Stafilokokus adalah parasit manusia yang dapat ditemukan di mana-mana. Sumber utama infeksi adalah lesi terbuka, barang-barang yang terkontaminasi lesi tersebut, serta saluran napas dan kulit manusia.

Penyebaran infeksi melalui kontak langsung dianggap sangat penting di rumah sakit, karena sebagian besar staf atau pasien membawa stafilokokus yang resistan terhadap antibiotik di dalam hidung atau kulitnya. Walaupun kebersihan, higiene. dan manajemen aseptik pada lesi dapat mengendalikan penyebaran staftlokokus dari lesi, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mencegah penyebaran stafilokokus secara luas. Aerosol (misalnya glikol) dan radiasi ultraviolet sedikit bermanfaat.
Di rumah sakit, tempat yang berisiko tinggi mengalami infeksi stafilokokus berat adalah perawatan neonatus, unit perawatan intensif, ruang operasi, dan bangsal kemoterapi kanker. S aureus patogen "epidemik" yang masuk secara masif pada daerah-daerah tersebur dapat menimbulkan penyakit klinis yang berat. Staf dengan lesi S aureus aktif atau carrier mungkin harus dilarang memasuki daerah-daerah tersebur. Pada orang- orang ini, pemakaian antiseprik ropikal di hidung arau daerah perineal dapat mengurangi penyebaran organisme yang berbahaya ini. Rifampin yang diberikan bersama dengan obat antistafilokokus oral lini kedua kadang-kadang dapat menimbulkan supresi jangka panjang dan mungkin dapat menyembuhkan carrier di hidung; bentuk terapi ini biasanya digunakan untuk masalah besar pada pembawa stafilokokus, karena stafilokokus dapat segera menjadi resistan terhadap rifampin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar