Blogger Widgets Dari : Situs Alfi
Powered By Blogger

Jumat, 18 Juli 2014

Cerita akhir kuliahhh

Ya ampunnnn Sidang KTI tgl 11 Juli 2014 kemarin bkin degdegan bangetttt,......
skarang tgl 19 juli ini KTI ku udah FIX MAXIMAL ,...
CUzzzzzzzz Nyari Kerjaaaa semangattttttt

ini KTI Kebanggaan :)

                                                                            

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH PERBANDINGAN PENGENCERAN GIEMSA
5%, 10%, DAN 20% TERHADAP GAMBARAN
MORFOLOGI LEUKOSIT PADA
 PEMERIKSAAN HAPUSAN
 DARAH TEPI

logo stikes


Oleh :
IDA AYU PUTU SHARMA LARAS SHANTI
NIM : 11.131.0309












SEKOLAH TINGGI KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
PROGRAM STUDI ANALIS KESEHATAN D3
2014


                                                                        







                                                                              BAB 1
                                                                   PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma darah, sedangkan 45%  terdiri dari sel darah. Sisanya diisi oleh sejumlah bahan organic, yaitu : glukosa, lemak, urea, asam urat, kreatinin, kolesterol, dan asam amino. Plasma juga berisi : gas oksigen dan karbondioksida, hormon – hormon, enzym, dan antigen (Pearce, 2006).
Pemeriksaan hematologi meliputi pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan darah khusus. Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan meliputi : Pemeriksaan darah lengkap yaitu haemoglobin (Hb), Laju Endap Darah (LED), hitung jumlah leukosit, hitung jenis leukosit, dan koreksi Hb dengan hitung jumlah eritrosit. Pemeriksaan darah khusus : hematokrit, retikulosit, eosinofil, evaluasi hapusan; faal hemostatik (trombosit, PPT, APPT, dll) serta pemeriksaan daya tahan osmotik (Depkes RI, 2007).
Sediaan hapusan darah tepi adalah cara yang digunakan untuk evaluasi morfologi dari sel darah leukosit misalnya mengevaluasi ukuran atau bentuk sel darah leukosit pemeriksaan di laboratorium.
Prinsip pemeriksaan hapusan darah tepi ini adalah dengan meneteskan darah lalu dipaparkan di atas objek glass, kemudian dilakukan pengecatan dan diperiksa dibawah mikroskop.
Kegunaan pemeriksaan hapusan darah tepi untuk Hapusan darah yang bagus tidak boleh terdapat garis yang melewati atau berada di bawah hapusan, ujung hapusan harus halus dan rata tidak kasar (bergerigi) dan bergaris – garis, hapusan tidak boleh terlalu tebal dan hapusan tidak boleh tampak berlubang (hapusan bisa tampak berlubang  karena kaca obyek yang dipakai berminyak). Hapusan darah harus dibuat sebagus mungkin. Bila memakai hapusan darah yang jelek, hasil pemeriksaan fraksi jumlah jenis lekosit akan keliru dan anda tidak mungkin bisa melaporkan morfologi eritrosit.
     Morfologi leukosit yaitu sel bulat berinti dengan sitoplasma yang granuler. Karena leukosit berinti, sangat mudah membedakannya dengan eritrosit pada pemeriksaan mikroskopik. Berdasarkan ukuran inti, bentuk inti, warna granula dalam sitoplasma dan factor lainnya,dikenal lima jenis leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit). Pada pulasan Romanowsky, kelima jenis sel ini dapat diidentifikasi (Chairlan dan Estu, 2003).
      Sel netrofil paling banyak dijumpai. Sel golongan ini mewarnai dirinya dengan pewarna netral, atau campuran pewarna asam basa dan tampak berwarna ungu. Sel eosinofil sel golongan ini hanya sedikit di jumpai. Sel ini menyerap pewarna yang bersifat asam (eosin) dan kelihatan merah. Sel basofil menyerap pewarna basa dan menjadi biru. Limfosit sel ini dibentuk didalam kelenjar limfe dan dalam sumsum tulang .
Monosit memiliki morfologi berubah dalam darah perifer, tetapi berinti satu (mononuclear) dan memiliki sitoplasma keabuan dengan vakuola dan granul berukuran kecil (Pearce, 2006).
                     Pewarnaan Giemsa adalah pulasan yang terdiri dari eosin, metilin azur dan metilen blue berguna untuk mewarnai sel darah dan melakukan fiksasi sendiri dengan metil alkohol. Kualitas Giemsa mempengaruhi hasil pewarnaan pada sediaan hapusan darah. Kualitas Giemsa dikatakan baik apabila Giemsa dibuat baru dan dikatakan kurang baik apabila Giemsa yang sudah disimpan lebih dari 1 hari (Gandasoebrata, 2007).
Menurut Depkes RI (2007), pembuatan Giemsa dapat dilakukan dengan berbagai konsentrasi pengenceran, ada 3 teknik pengenceran Giemsa diantaranya :
1.      Pembuatan larutan Giemsa 5% (1:20), 1 bagian Giemsa + 19 bagian Buffer. Lakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa 5% selama 30 – 45 menit.
2.      Pembuatan larutan Giemsa 10% (1:10), 1 bagian Giemsa + 9 bagian Buffer. Lakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa 10% selama 20 – 25 menit. 
3.      Pembuatan larutan Giemsa 20% (1: 5), 1 bagian Giemsa dan 4 bagian Buffer. Lakukan pewarnaan dengan larutan Giemsa 20% selama 10–15 menit
Menurut penelitian Malaya Adianto (2013), pengenceran Giemsa idealnya mempunyai pH 6,0 agar tidak berpengaruh pada pewarnaan morfologi sel darah. Terlalu asam atau basa akan bisa menimbulkan masalah, untuk itu diperlukan larutan penyangga atau buffer supaya asam basanya seimbang.
 Fungsi larutan buffer adalah menjadi zat yang mempertahankan keadaan pH saat sejumlah kecil basa atau asam dimasukkan ke dalam larutan. pH pengenceran yang rendah atau kurang dari 6,0 mengakibatkan  leukosit akan memperlihatkan bagian inti yang kurang jelas. Syarat pengenceran Giemsa dikatakan baik apabila baru diencerkan, langsung digunakan untuk mewarnai sediaan hapusan darah. Derajat keasaman pengenceran hendaknya berada pada pH 6,0 (Depkes RI, 2007).
Perubahan pH pada larutan pengenceran Giemsa berpengaruh pada sel – sel darah. Faktor yang menentukan mutu pewarnaan Giemsa antara lain kualitas Giemsa baik dan tidak tercemar air, pengenceran Giemsa dengan perbandingan tepat, waktu pewarnaan, ketebalan pewarnaan dan kebersihan sediaan.
            Pewarna Giemsa dengan pengenceran 10% sebagai pewarna yang umum digunakan agar sediaan terlihat lebih jelas. Zat ini tersedia dalam bentuk serbuk atau larutan yang disimpan di dalam botol yang gelap (Kurniawan, 2010).
Namun setiap rumah sakit mempunyai standar pengenceran Giemsa yang berbeda  untuk pemeriksaan hapusan darah tepi. Perbedaan ini memungkinkan komposisi pengenceran cat dapat mempengaruhi warna, ukuran, bentuk sel leukosit, dan kerataan cat pada hapusan darah tepi.
Warna, ukuran, bentuk inti sel leukosit dapat memberikan hasil yang berbeda sehingga terjadi perbedaan penilaian hapusan darah tepi dan mendirikan diagnosa penyakit. Sedangkan kualitas cat semakin baik maka akan memudahkan pembacaan preparat. Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini perlu untuk dilakukan.
1.2              Rumusan Masalah
      Apakah ada pengaruh perbandingan  pengenceran Giemsa 5%, 10%, dan 20% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi ?
1.3              Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui hasil pemeriksaan pengaruh perbandingan pengenceran Giemsa 5%, 10% dan 20% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan Hapusan darah tepi.
2. Tujuan Khusus
a.       Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh perbandingan  pengenceran Giemsa 5%, 10% dan 20% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
b.      Untuk menganalisis pengenceran Giemsa 5% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
c.       Untuk menganalisis pengenceran Giemsa 10% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
d.      Untuk menganalisis pengenceran Giemsa 20% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi.


1.4              Manfaat Penelitian
1.    Bagi Peneliti
     Dapat mengaplikasikan teori maupun praktikum yang diperoleh serta menambah wawasan dan pengetahuan peneliti khususnya di bidang Hematologi.
2.    Bagi Mahasiswa
     Untuk menambah kepustakaan dan bahan informasi khususnya dalam bidang hematologi, juga sebagai refrensi untuk mahasiswa yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut.
3.    Bagi Institusi Kesehatan
                          Dapat berguna bagi tenaga kesehatan sebagai data untuk mengetahui standar pengenceran Giemsa yang baik digunakan untuk pemeriksaan hapusan darah tepi.

1.5 Hipotesis Penelitian
1.      Hipotesis nol (Ho) :
            Tidak ada pengaruh perbandingan pengenceran Giemsa 5%, 10%, dan 20% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
2.      Hipotesis alternative (Ha) :
Ada pengaruh perbandingan pengenceran Giemsa 5%, 10%, dan 20% terhadap gambaran morfologi leukosit pada pemeriksaan hapusan darah tepi.






Rabu, 19 Februari 2014

Parasitologi

Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi



OLEH : KELOMPOK 3  V OFF A


STIKES WIRA MEDIKA BALI
D3. ANALIS KESEHATAN

SEMESTER GENAP


BAB I
PENDAHULUAN

1.1            LATAR BELAKANG
         Semakin berkembangnya IPTEK juga berpengaruh terhadap penemuan-penemuan para ahli dan peneliti tentang berbagai jenis makhluk hidup,dari makhluk hidup uniseluler sampai yang multiseluler. Makhluk hidup tersebut tidak dikelompokkan dalam satu kingdom melainkan dikelompokkan ke dalam beberapa kingdom sesuai dengan ciri-cirinya masing-masing.Selain penemuan-penemuan makhluk hidup dan pengelompokannya itu,juga ditemukan beberapa keuntunagan dan kerugian dari makhluk hidup tersebut. Ada makhluk hidup yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit,dan ada makhluk hidup yang tidak menyebabkan penyakit.
           Hal tersebut seharusnya dapat dipelajari untuk mengetahui dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah ada.Salah satunya spesies Leishmania dan Trypanosoma. Pada genus Leishmania, hanya ada 3 spesies yang penting bagi manusia , yaitu : 1) Leishmania donovani yang menyebabkan Leismaniasis viseral atau kala azar, 2) Leishmania tropica yang menyababkan leishmaniasis kulit atau oriental sore dan 3) Leishmania braziliensis yang menyebabkan leismaniasis mukokutis atau Espundia. Sedangkan pada genus Trypanosoma juga ada 3 spesies, yaitu : Trypanosoma rhodesiense, Trypanosoma gambiense, Trypanosoma cruzi. Pada makalah ini akan dibahas lanjut tentang Leishmania braziliensis dan Trypanosoma cruzi.

1.2   RUMUSAN MASALAH
                                       1.         Bagaimana morfologi dari Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       2.         Bagaimana siklus hidup dari Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       3.         Dimana saja ditemukan Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       4.         Bagaimana diagnose laboratorium dari Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                   5.         Bagaimana pengobatan dari penyakit akibat Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
1.3   TUJUAN PENULISAN
                                       1.         Untuk mengetahui morfologi dari Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       2.         Untuk mengetahui siklus hidup  dari  Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       3.         Untuk mengetahui penyebaran  dari  Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       4.         Untuk mengetahui diagnose laboratorium  dari  Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?
                                       5.         Untuk mengetahui pengobatan  dari  Leishmania branziliensis dan Trypanosoma cruzi ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.     Leishmania branziliensis
        Manusia merupakan hopes definit parasit ini dan lalat Phlebotomus berperan sebagai hospes perantara (vector). Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut leismaniasis  Amerika atau penyakit Espundia. Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 tipe menurut strain yaitu:
 1) tipe ulkus Meksiko dengan lesi yang terbatas pada telinga. Penyakitnya menahun, parasitnya sedikit, ulkusnya kecil-kecil dan tidak menyebar ke mukosa lainnya.
 2) tipe uta, lesi kulit yang menyerupai oriental sore, pada lesi yang dini lebih banyak ditemukan parasitnya daripada lesi yang sudah lama; penyakit ini jarang menyebar ke selaput mukosa.
3) tipe Espundia , sering bersifat polipoid dan ulkus dapat menyebar ke lapisan mokokutis dan kutis.
·         KLASIFIKASI:
FILUM:PROTOZOA
CLASS: FLAGELLATA
ORDO: LEISHMANIAE
FAMILY: TRYPANOSOMATIDAE
GENUS: LEISHMANIA
SPESIES:LEISHMANIA BRAZILIENSIS

 v  Sejarah Penemuan Leishmania brasiliensis.
Ø  Abad ke-7 SM ditemukan lesi mencolok mirip Leishmaniasis kulit pada tablet dari King Ashurbanipal.
Ø    Abad 1 M penyakit kulit di Equador dan Peru lesi kulit dan cacat wajah.
Ø   Tahun 1898 Peter Borovsky Menggambarkan hubungan perasit untuk host jaringan adalah protozoa.
Ø  Tahun 1903 Ronald Ross membentuk link penyakit bernama organisme Leishmania.
Ø   Selanjutnya Leishmaniasis berkembang menurut tipe-tipe yang lebih spesifik.

2.1   MORFOLOGI
      Ketiga spesies Leishmania mempunyai morfologi yang hampir sama , tetapi berbeda dalam sifat biakan, manifestasi klinis, penyebaran dan vektornya. Ketiga spesies tersebut terdiriatas sejumlah strain yang berbeda dalam virulensi, tipe, lesi sifat biologi dan adaptasi pada vektor. Morfoloogi Leishmania branziliensis dapat dibedakan dari L.donovani dan L.tropica. Stadium amastigot hidup didalam sel RE dibawah kulit pada porte d’entree dan menyebar ke selaput lendir (mukosa) yang berdekatan, seperti mulut, hidung dan tulang rawan telinga. Stadium promastigot terdapat pada lalat phlebotomus sebagai bentuk infektif. Bentuk ini ditemukan pula dalam baikan NNN. Infeksi terjadi seperti pada L.donovani dan L.tropica.
  v  Stadium Amastigot :
o   intraseluler dalam darah (RES)
o   Bulat lonjong, 2-3 m.
o   Inti eksentrik, aksonema.
o   Kinetoplas, tidak berflagel.
  v  Stadium Promastigot :
o   Dalam tubuh lalat.
o   Kumparan, 15-25 x 1,5-3,5 m.
o   Inti sentral, kinetoplas, berflagel.
2.2   SIKLUS HIDUP


      1.        Sand fly menggigit kulit manusia dan menginfeksikan fase promastigote pada protozoa ke dalam inang.
      2.         Makropag akan mempagositosit promastigote.
      3.         Di dalam makropag promastogot akan berkembang menjadi amastigot.
      4.         Amastigot akan terus memperbanyak diri di dalam sel hingga makropag pecah dan terjadi penyebaran ke dalam makropag lain.
      5.         (fase dalam sand fly) sand fly akan menggigit manusia yang terinfeksi tahap amastigot di manusia.
      6.         Berkembang biak dan bertambaha banyak di usus lalat pasir.
      7.         Amastigot akan berkembang ke tahap selanjutnya yaitu promastigot di dalam midgut.
      8.         Dari midgut akan menuju kelenjar ludah sand fly dan begitu seterusnya.

        2.3   PENYEBARAN LEISHMANIA BRANZILIENSIS
            Penyakit Leishmaniasis mukokutis  ini ditemukan di Ameriika Tengah dan Selatan (mulai dari Guatemala sampai ke Argentina bagian Utara dan Paraguay). Di Indonesia penyakit ini belum pernah ditemukan.  

 v  Patologi Dan Gejala Klinis
            Masa tunas penyakit ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada porte d’entree terjadi hiperplasi sel RE yang mengandung stadium amastigot. Kemudian timbul makula dan papul; setelah itau papul pecah dan terjadi ulkus. Parasit yang keluar bersama sekret ulkus menyebabkan ulkus baru atau granuloma. Saluran limfe tersumbat dan terjadilah nekrosis. Infeksi sekunder oleh bakteri merupakan penyulit, sehingga terjadi destruksi tulang rawan pada hidung atau telinga. Penyakit ini berlangsung bertahun-tahun dan bila tidak diobati dapat sembuh sendiri. Ulkus dapat sembuh sendiri dengan meninggalkan parut.
            Lesi yang terjadi pada tipe uta,sama bentuknya dengan tipe meksiko,hanya prediksi pada telinga kurang dan jarang menghinggapi selaput lendir. Masa tunas pada tipe espundia adalah 2-3 bulan dan biasanya lesi pertama terjadi pada kulit dan mungkin juga terdapat diselaput lendir. Setelah ± 1 tahun terjadi lesi sekunder yang dapat menyebabkan cacat.

2.4   DIAGNOSIS LABORATORIUM
      Diagnosis ditegakkan dengan:
1) menemukan parasit dalam sediaan apus atau sediaan biopsi dari tepi ulkus.
2) pembiakan dalam medium NNN.
3) reaksi imunologi.

2.5   PENGOBATAN
                                             1.         Miltefosine, dengan nama kimia hexadecylphosphocholine.
                                             2.         Pentavalent antimonial : bisa berupa sodium stibogluconate dan miglumin antimonite.
                                             3.         Pentamidine untuk pengobatan lanjutan pada leishmaniasis kulit.
                                             4.         Amphotericine B untuk penyakit leishmaniasis selaput lender.
   v   Pencegahan
                                 1.         Lakukan penderitaan dini pada penderita untuk mencegah penularan.
                                 2.         Gunakan insektisida untuk memberantas vektornya.
                                 3.         Adanya pembersihan hutan secara berskala.
                                 4.         Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan.

B.     Trypanosome cruzi
         Trypanosoma cruzi merupakan filum dari Mastighopora atau Flagellata, yang merupakan organisme yang bergerak dengan bulu getar atau flagel. Mastighopora yang bersifat parasit adalah genus Trypanosoma dan genus Trichomonas. Trypanosome cruzi sering disebut juga Trypanosoma cruzi cruzi Chagas, dan mempunyai sinonim Schizotrypanum cruzi, T. lesourdi, T. prowazeki, T. rhesii, T. vickerse. Penyakit yang ditimbulkan adalah Tripanosomosis manusia Amerika, yaitu penyakit Chagas.

·         KLASIFIKASI :
FILUM                   : EUGLENOZOA
KELAS                  : KINETOPLASTEA
ORDO                    : TRYPANOSOMATIDA EUGLENOZOA
FAMILY                : TRYPANOSOMATIDAE
GENUS                  : TRYPANOSOMA
SPESIES                : TRYPANOSOMA CRUZI
        
         Menurut Norman D. Levine manusia adalah hospes yang paling penting dari T. cruzi. Diperkirakan bahwa lebih dari 10 juta orang terinfeksi, termasuk 4-6 juta orang di Brazilia, 2,3 juta di Argentina, 2 juta di Columbia, dan 0,6 juta di Venezuela. Banyak spesies dari hewan liar dan hewan peliharaan ditemukan terinfeksi dan merupakan reservoir untuk infeksi manusia. Goble (1970) mendaftar 79 spesies hospes alami dan 20 spesies hospes eksperimental yang terdapat pada ordo-ordo mammalia yaitu Marsupialia, Carnivora, Rodentia, Lagomorpha, Edentata, Primata, dan Artiodactyla. Miles (1979) mengatakan bahwa terpisah dari organisme-organisme yang menyerupai T. cruzi yang brsifat kosmopolit pada kelelawar, T. cruzi ditemukan pada Sembilan kasus fatal pada anjing-anjing di Texas (Willians et al., 1977) dan juga ditemukan pada anjing di Lousisiana (Synder et al., 1980) dan bahkan di Indian (Anon, 1979).




2.6   MORFOLOGI
·         Bentuk Amastigot (Leismanial form)
Bentuk bulat atau lonjong, mempunyai satu inti dan satu kinetoplas serta tidak mempunyai flagela. Bersifat intraseluler. Besarnya 2-3 mikron.

·          Bentuk Promastigot (Leptomonas form)
Bentuk memanjang mempunyai satu inti di tengah dan satu flagela panjang yang keluar dari bagian anterior tubuh tempat terletaknya kinetoplas, belum mempunyai membran bergelombang, ukurannya 15 mikron.

·         Bentuk Epimastigot (Critidial form)
Bentuknya memanjang dengan kinetoplas di depan inti yang letaknya di tengah mempunyai membran bergelombang pendek yang menghubungkan flagela dengan tubuh parasit, ukurannya 15-25 mikron.

·         Bentuk Tripomastigot (Trypanosome form)
Bentuk memanjang dan melengkung langsing, inti di tengah, kinetoplas dekat ujung posterior, flagela membentuk dua sampai empat kurva membran bergelombang, ukurannya 20-30 mikron.
Pada stadium akhir, di dalam darah penderita,


2.7  SIKLUS HIDUP
        Meskipun bentuk tripomasgote T. c. cruzi biasa ditemukan di dalam darah pada stadium awal penyakit Chagas, ia tidak erkembang biak dalam bentuk ini. Bentuk-bentuk tripomasgote masuk ke dalam sistem sel-sel retikulo endothelial, otot-otot bergaris, dan terutama otot jantung di mana mereka membulat dan menjadi bentuk amastigote. Bentuk ini berkembang biak dengan cara pembelahan biner, merusak sel-sel hospesdan membentuk sarang-sarang parasit. Beberapa menjadi epimastigote. Bentuk amastigote berubah menjadi bentuk-bentuk trypomastigote yang masuk kembali ke dalam darah. Galur-galur yang berbeda, berbeda dalam virulensinya.
Vektor-vektor T. c. cruzi adalah “kissing (conenose) bugs”, anggota-anggota hemiptera familia Reduviidae, subfamilia Triatominae. Parasit-parsit ini juga juga dapat berkembang menjadi stadium infektif di dalam kutu-kutu busuk.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgllitAAt62xlKT4OM3OCz0WIHqEieirooKcWxLaep-3srf7-Do4236aqR7j9BNKqwfEpcQ3rLHMoH4jmcyCLm7sHGdhYNVWIsJSeFiNrG_HXdAZO8FVFU4hnNOX7vXjATiWPnuhPQdFH8/s320/in+blood.jpg
2.8  PENYEBARAN
        T. c. cruzi terdapat di Amerika Selatan, dari Argentina Utara, Antillen, Amerika Tengah ke Amerika Serikat Selatan. T. c. cruzi terutama terdapat pada tikus hutan (woodrat) di negara bagian Amerika Serikat Barat Daya (Texas, Arizona, New Mexico, California Selatan); ia juga terdapat pada raccoon, opossum, skunk,dan rubah abu-abu di negara bagian tenggara.


2.9   DIAGNOSA LABORATORIUM
                                    1.         Pada penderita yang sedang mengalami demam yang hebat, dapat dilakukan pemeriksaan darah, dibuat preparat dengan sederhana dengan menggunakan pertolongan pertama, maka akan didapatkan Trypanosome.
                                    2.         Pemeriksaan darah tetes / hapus dengan pewarnaan giemsa atau dengan wright.
                                    3.         Pemeriksaan getah dari bagian tubuh yang membengkak, kemudiaan obat preparat langsung / pewarnaan.
                                    4.         Pemeriksaan bahan – bahan dari sternum fungsi.
                                    5.         Pemeriksaan Cerebro Spinal ( CSF Fluid dengan sidimenter dulu )
                                    6.         Inokulasi pada binatang percobaan atau disuntikan darah manusia / penderita 2 – 10 cc, bahan – bahan dari fungsi ke dalam marmot / tikus, anjing kemudian sesudah satu minggu akan didapatkan parasit – parasit tersebut pada binatang percobaan.


2.10                PENGOBATAN
     
Antiparasit pengobatan yang paling efektif selama tahap-tahap awal infeksi. Tapi untuk pasien kronis, alat pacu jantung dan obat-obatan yang diperlukan untuk mengatur secara jantung berdetak. Kadang-kadang, transplantasi jantung diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien kronis. Antiparasitic perawatan paling efektif awal dalam perjalanan dari infeksi tapi tidak terbatas pada kasus dalam fase akut. Obat pilihan termasuk azole atau nitro derivatif seperti benznidazole atau nifurtimox.



BAB III
PENUTUP

3.1   SIMPULAN
Dari penulisan makalah ini dapat disimpulkan bahwa Leishmania branzilliensi dan Trypanosoma cruzi bersifat pathogen pada manusia. Leishmania branzilliensis dapat menyebabkan penyakit Espundia dan Trypanosoma cruzi dapat menyebabkan penyakit Chagas. Kedua penyakit ini belum ditemukan di Indonesia.

3.2   SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan penulis adalah agar masyarakat dapat menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan sekitar agar terhindar dari segala jenis penyakit akibat bakteri, virus, jamur, ataupun protozoa.